Pada akhir tahun 2009, tujuh lembaga dan empat orang individu mengajukan uji materi atas UU No. 1/PNPS/1965 karena undang-undang ini dinilai banyak menimbulkan masalah dalam relasi masyarakat beragama di Indonesia. Sejak itu, perdebatan atas upaya uji materi ini bermunculan di ranah publik.
Dr. Edy Hiariej, pakar hukum pidana UGM, menyebutkan keberadaan undang-undang ini tetap dibutuhkan untuk melindungi kehidupan beragama dalam upaya menjaga ketertiban umum. “Namun, dalam pelaksanaannya perlu dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengarah pada tindakan pengadilan terhadap pemikiran, pendapat, maupun keyakinan seseorang,” katanya, Senin (19/4), di Fisipol UGM.
Ditambahkan Edy, untuk ke depannya, masih diperlukan perbaikan dalam undang-undang penodaan agama ini. “UU ini masih perlu direvisi, terutama pada pasal 1 karena tidak memenuhi ketentuan lex certa, di mana ketentuan hukum dalam pasal ini bersifat tidak tegas, kabur, dan menimbulkan multitafsir,” katanya.
Dr. Abdul Gaffar Karim, S.I.P., M.A., Direktur Research Center for Politics and Government UGM, dalam diskusi publik “Tinjauan Kritis atas UU No. 1 /PNPS/1965”, mengatakan apabila undang-undang ini tetap dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dibutuhkan pengaturan yang lebih jelas agar tidak terjadi tindakan penodaan/penistaan terhadap agama. “Dalam praktiknya, tidak terdapat pemisahan antara undang-undang ini dengan penodaannya. UU ini tidak mampu membedakan tindakan yang dapat dikriminalkan dengan sekadar perbedaan penafsiran,” terangnya.
Sementara dalam kesempatan terpisah, A.A.G.N. Ari Dwipayana, S.I.P., M.Si., staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM menuturkan undang-undang penodaan agama ini layak untuk dicabut. Namun, dibutuhkan pengaturan lebih lanjut tentang definisi penistaan maupun penodaan agama. “Nantinya, dalam peraturan yang akan dibuat pun harus ada rincian yang lebih jelas tentang apa itu penodaan dan penistaan sehingga tidak mengundang ruang tafsir yang lebih luas,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)