Di Indonesia, pada tahun 2009 terdapat lebih dari 43 persen masyarakat yang tinggal di perkotaan. Jumlah tersebut menurut prediksi akan terus meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2025. Akibatnya, pemerintah kota menghadapi tantangan besar. Sementara itu, keberhasilan menghadapi tantangan tersebut menjadi faktor penentu bagi kelangsungan Indonesia ke depan.
Demikian dikatakan Drs. Elvi Effendi, Apt., M.Si. saat membacakan kata sambutan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Dr. Bondan Agus Suryanto, S.E., M.A., dalam acara pelantikan 34 dokter gigi baru, Senin (26/4), di Auditorium Margono, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM. Untuk mencapai keberhasilan tersebut, di samping pertumbuhan ekonomi, pemerintah diharapkan mampu mengatasi permasalahan kemiskinan. "Survei tahun 2009 menunjukkan dua dari lima kota di Indonesia masuk kategori miskin," terangnya.
Dikatakan juga bahwa salah satu isu besar dalam pengelolaan lingkungan perkotaan akibat tingginya tingkat urbanisasi adalah permasalahan air minum dan sanitasi. Di Indonesia, permasalahan ini ditandai dengan akses dan kualitas pelayanan yang belum memuaskan. Bahkan, lebih dari 100 juta masyarakat Indonesia masih mengalami kekurangan akses terhadap kebutuhan air minum yang aman. "Sementara itu, lebih dari 70 persen dari 220 juta penduduk Indonesia bergantung pada sumber air yang terkontaminasi," paparnya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY lebih lanjut menjelaskan tercatat lima besar masalah kesehatan penyebab kematian masih didominasi oleh penyakit degeneratif. Penyakit-penyakit tersebut banyak terjadi di wilayah perkotaan, di antaranya stroke, diabetes melitus, hipertensi, TBC, dan penyakit jantung. Sementara di pedesaan, penyakit yang mendominasi adalah stroke, TBC, saluran nafas bawah, dan tumor ganas.
Disinyalir berbagai gaya hidup menjadi pemicu faktor risiko penyakit-penyakit tersebut, seperti perilaku merokok dan minum alkohol. Selain itu, sering menolak aktivitas fisik, kurang olahraga, dan mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak serta rendah serat. "Demikian pula kondisi lingkungan yang merugikan kesehatan, seperti pencemaran udara serta rendahnya kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu, meski para dokter gigi baru menggeluti bidang kesehatan gigi, namun tetap diharapkan mampu berperan menjelaskan berbagai jenis penyakit tersebut pada masyarakat. Apalagi mereka yang bekerja di lapangan, di ujung bidang pelayanan kesehatan, di puskesmas-puskesmas," tambahnya.
Dekan FKG UGM, Prof. Dr. drg. Iwa Sutardjo Rus Sudarso, S.U., Sp.KGA(K), mengatakan dengan dilantiknya 34 dokter gigi baru kali ini, FKG UGM hingga sekarang telah menghasilkan 3.337 dokter gigi, terdiri atas 934 pria dan 2.403 wanita. Lama studi rata-rata periode April 2010 adalah 2 tahun 4 bulan, dengan waktu studi tercepat 2 tahun 22 hari dan terlama 6 tahun 22 hari. "Nampaknya, jumlah lulusan wanita masih mendominasi. Hal ini seiring semangat Hari Kartini yang baru saja kita peringati," tuturnya. (Humas UGM/ Agung)