Presiden Joko Widodo menerima kelompok kerja (Pokja) gambut UGM, Selasa (3/11) di Kantor Presiden. Dalam pertemuan tersebut Presiden memerintahkan untuk menata kembali penanganan lahan gambut dengan baik di Indonesia.
Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., dalam kesempatan itu menyampaikan penelitian tentang lahan gambut yang dilakukan sejak 1974 dan yang terakhir penelitian pada tahun 2014-2015. “Dari hasil kajian tersebut, kami sampaikan bahwa resep atau semacam paket upaya untuk mengatasi atau mencegah kebakaran atau kerusakan lahan gambut ke depan,” ucap Rektor UGM.
Dalam pengelolaan lahan gambut ini, Rektor UGM menjelaskan perlunya integrasi beberapa aspek, yakni rekayasa sosial, rekayasa teknis, dan aspek politik pembangunan ekonomi dalam hal pengelolaan HTI ataupun perkebunan. Tata ruang ini perlu ditekankan bagaimana kondisi topografi lahan gambut tersebut guna mengontrol tata air dan juga restorasi di lahan gambut
“Dari ketiga aspek yang terintegrasi tadi perlu dibungkus dengan aspek legal, peraturan, atau bahkan mungkin penegakan peraturan, harmonisasi peraturan, perbaikan peraturan serta tata ruang,” imbuh Dwikorita.
Sementara itu dosen Fakultas Pertanian UGM yang juga pakar gambut Prof. Dr. Ir. Azwar Ma'as menjelaskan bahwa gambut itu tumbuh di rawa dan tumbuh di daerah tropis yang berasal dari sisa-sisa tanaman hutan. Kayu yang roboh, tetapi proses penguraiannya tidak sempurna karena tergenang air.
“Lama-lama menumpuk. Nah, tumpukan ini yang kita kenal bahwa gambut itu punya kubah. Kubah ini mempunyai simpanan air sangat besar,” ujar Azwar.
Untuk menyelamatkan lahan gambut dari kebakaran, Azwar menjelaskan satu-satunya jalan dengan mengembalikan fungsi kubahnya. Artinya, lahan gambut memiliki simpanan air yang cukup untuk menghadapi musim kemarau. “Setelah kubah diselamatkan, di bawah kubah itu jangan lagi ada saluran-saluran yang langsung terhubung ke sungai,” ujar Azwar.
Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Oka Karyanto, mengatakan bahwa Presiden memerintahkan untuk dilakukan pemetaan detail seluruh kawasan gambut di Indonesia. Bukan kedalamannya tapi topografi detail sehingga gerakan penyekatan kanal dan perbaikan restorasi air itu akan segera dilakukan dalam waktu beberapa bulan ke depan.
Dari sisi teknis, masalah tata kelola air menjadi fokus perhatian dari Pokja Gambut UGM. Lahan gambut saat ini mengalami over-drainage sehingga sangat rentan terbakar. Sehingga yang harus dilakukan segera adalah restorasi kanal berbasis topografi. Dalam pembuatan kanal hendaknya diperhatikan zonasi air dengan membuat ketinggian air dalam level tertentu sehingga pengelolaan air dalam kanal sesuai dengan topografinya.
Sementara itu dari sisi sosial, Pokja Gambut UGM menyampaikan rekomendasi pada Presiden untuk dibuatkan skenario rekayasa sosial. Rekayasa sosial itu intinya adalah larangan untuk membakar hutan, terutama dalam pembukaan lahan baru.
Rekayasa sosial yang direkomendasikan oleh Pokja Gambut UGM didahului dengan melakukan pemetaan sosial budaya sehingga sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Karena beberapa komunitas dalam masyarakat Indonesia memiliki tradisi nomaden dan berladang berpindah. Jika konsep rekayasa sosial yang ditawarkan adalah mengajak hidup menetap dalam permukiman maka hal itu harus diikuti oleh akses dan kontrol sumberdaya produktif. Hal itu harus dilakukan bersamaan karena tanpa akses pada sumberdaya produktif maka proses penyediaan pemukiman tidak akan efektif.
Pokja UGM juga merekomendasikan agar kebijakan ekonomi yang ditetapkan di lahan gambut adalah yang berbasis agrobisnis. Lahan gambut sebaiknya dimanfaatkan hanya untuk jenis tanaman yang adaptif terhadap lahan gambut. Sedangkan untuk zona konservasi yang direstorasi dipilihkan tanaman yang adaptif seperti sagu, rotan, dan tanaman hutan rawa (Humas UGM/Satria;foto: istimewa)