Era revolusi industri 4.0 ditandai dengan terjadinya perubahan mendasar dan mendorong terciptanya pasar baru termasuk di dunia pendidikan. Hal ini menuntut adanya proses belajar, strategi, orientasi, dan tata kelola perguruan tinggi yang terus berubah dan responsif terhadap perubahan IPTEK yang sangat cepat.
“Kemenristekdikti sedang mengembangkan apa yang disebut Cyber Institute of Indonesia. Intinya dalam era revolusi industri 4.0 kementerian mengantisipasi dengan inovasi berkelanjutan dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi dapat berpartisipasi untuk pengembangan modul dan proses pembelajaran daring baik yang dihitung kredit atau non-kredit dengan jaga mutu dikendalikan oleh Cyber Institute of Indonesia,” papar Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD, Senin (21/5) di Gedung Pusat UGM dalam diskusi bulanan Dewan Guru Besar (DGB) UGM.
Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti ini menyebutkan bahwa keterlibatan berbagai perguruan tinggi untuk mengembangkan inovasi ini dapat secara signifikan meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia.
Dengan sistem daring, jutaan mahasiswa bisa berpartisipasi dalam pendidikan, apalagi jika program studi yang ditawarkan minim kebutuhan praktik laboratorium basah. Program studi ilmu humaniora termasuk bahasa dengan mudah dikembangkan dengan sistem daring yang sederhana sekalipun atau yang sudah canggih dengan menyertakan simulasi, virtual reality, augmented reality, dan artificial intelligence.
Model pembelajaran pendidikan tinggi, imbuh Ghufron, akan memengaruhi berbagai sistem, sarana prasarana dan tata kelola pendidikan tinggi. Ia mencontohkan perpustakaan yang baik pada model pembelajaran daring yang canggih telah memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajarannya.
“Kalau dulu yang disebut perpustakaan bagus itu raknya tinggi, bukunya banyak, pengunjung sepi dan tidak boleh berbicara. Saat ini bisa jadi perpustakaan yang bagus itu justru tanpa rak-rak buku, tapi tempatnya nyaman, bisa untuk diskusi, dan yang penting ada akses internet yang baik dan bisa mengunduh buku dan jurnal dengan cepat, mudah, dan lengkap,” jelasnya.
Selain tantangan teknologi disruptif, pendidikan tinggi di Indonesia juga masih mengalami tantangan pada mutu dan relevansi. Ia mengungkapkan bahwa sumber daya manusia yang dihasilkan oleh pendidikan tinggi belum relevan dengan prioritas pembangunan dan industri, khususnya dari segi kualitas, kompetensi, dan keahlian. Padahal, kebutuhan SDM baru di era ini sangat dinamis dengan banyak profesi baru yang muncul.
“Banyak sarjana yang dibutuhkan belum dihasilkan, sementara banyak mahasiswa yang diluluskan tidak dibutuhkan oleh industri. Inilah tantangan bagi perguruan tinggi. Hanya perguruan tinggi yang responsif dan antisipatif yang terus dapat eksis dan kontributif,” ujar Ghufron.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., mengutarakan bahwa perguruan tinggi juga perlu menyusun strategi pengembangan profesor demi masa depan yang lebih baik. Salah satu kesulitan utama yang dihadapi UGM dan perguruan tinggi lain di Indonesia, ujar Laksono, adalah kurangnya pengembangan pemimpin keilmuan.
“Kami melihat kondisi saat ini dosen itu membutuhkan kepemimpinan yang suportif. Pemimpin ini bukan hanya pemimpin struktural tapi harus ada yang menjadi pemimpin keilmuan,” ucapnya.
Selain aspek kepemimpinan ilmu yang dapat membawa perguruan tinggi untuk berkembang melalui riset-riset mutakhir yang dilakukan dari generasi ke generasi, tantangan lain bagi perguruan tinggi adalah untuk meruntuhkan sekat-sekat di antara berbagai departemen dan fakultas, demi pengembangan ilmu yang lebih terintegrasi dan relevan dengan kebutuhan zaman. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)