Bagi kalangan tertentu, keprihatinan terhadap semangat nasionalisme terkadang dipandang sebagai sikap konservatif. Namun, dalam konteks berbangsa, keprihatinan ini sesungguhnya sebuah fakta bahwa kredibilitas Pancasila memang sedang merosot dan pendidikan kewarganegaraan tidak populer lagi. "Sebab musababnya bisa bermacam-macam. Namun, hal yang patut kita pertanyakan, apakah fenomena ini mengindikasikan masa depan berbangsa kita sedang terancam?," kata M. As’ad Said Ali, Rabu (19/5), di Balai Senat UGM.
Wakil Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) ini mengatakan hal tersebut saat menjadi keynote speaker Sarasehan Pancasila bertema "Nasionalisme dan Pembangunan Karakter Bangsa". Dikatakannya bahwa sejak reformasi, masyarakat memang mengalami perubahan radikal. Reformasi dinilai telah mengantarkan bangsa Indonesia pada dunia baru yang sama sekali lain, terbuka dan liberal, di tengah sebuah arus yang disebut globalisasi. Ia tidak hanya mengubah selera dan gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, tetapi juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu budaya dunia (world culture).
Penyatuan dan penyeragaman itu kian hari bahkan semakin intensif, massal, dan menyeluruh. Hal itu, menurut Said Ali, karena kontak kebudayaan bersifat fisik dan individual. "Sarananya adalah media komunikasi dan informasi yang bisa diakses oleh siapa pun dan di mana pun. Kontak kebudayaannya bersifat massal dan melibatkan sejumlah besar orang," tuturnya.
Dalam pandangan Said Ali, perkembangan dan pengaruh kapitalisme transnasional kian kokoh dan meluas menggantikan kapitalisme negara. Bahkan, dalam diplomasi internasional pun kini muncul yang disebut sebagai mikro-diplomasi. Semua perkembangan ini menegaskan negara bukan lagi satu-satunya entitas yang memungkinkan hubungan antarbangsa dapat terjadi. "Hubungan antarbangsa menjadi kian terbuka. Kelompok masyarakat, bahkan individu pun dapat melakukannya. Pertanyaannya, bagaimana nasib nasionalisme?," ujarnya dengan nada bertanya.
Meski begitu, Said Ali masih memiliki sikap optimis terhadap nasionalisme. Sebagai sebuah kesadaran, nasionalisme tidak akan menghilang sepanjang nation state ada sebab hubungan keduanya ibarat tulang dan daging. Globalisasi memang merelatifkan batas antarnegara (borderless), mengubah selera dan gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, serta menyatukan orientasi budaya menuju satu budaya dunia (world culture). "Namun, itu sama sekali tidak akan menghilangkan nation state. Negara bangsa tetap dibutuhkan oleh setiap orang, sehebat apa pun arus globalisasi itu. Bahkan, oleh kaum eksil sekalipun karena seseorang mutlak memerlukan identitas politik dan sosial," tambahnya.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif UGM, Drs. Djoko Moerdiyanto, M.A., dalam sambutan pembukaan sarasehan mengatakan UGM melalui Pusat Studi Pancasila ingin mengangkat semangat nasionalisme melalui empat pilar yang dimiliki, yaitu Majelis Wali Amanat, Pimpinan Universitas, Majelis Guru Besar, dan Senat Akademik. Bangsa Indonesia tampaknya membutuhkan sumbang pikir dari empat pilar ini guna memberikan kecerdasan kolektif. Dengan langkah itu diharapkan dapat mengangkat kesejahteraan dan memunculkan karakter unggul serta mampu menjunjung tinggi harkat martabat manusia. "Dari sarasehan ini, kami berharap muncul kesadaran dan kepedulian terhadap persoalan kebangsaan," ujar Djoko Moerdiyanto. (Humas UGM/ Agung)